Kamis, 08 Maret 2012

LARANGAN HAJI : FALAA ROFATSA WALAA FUSUUQO WALAA JIDAALA

Tanggal 10 Desember 2006 (H-1), saya pamitan berangkat haji via sms kepada beberapa ustadz yang saya kenal baik, salah satunya Ustadz Muhammad Sholih Drehem. Tidak lama berselang, HP saya berbunyi dan setelah saya lihat di screen ternyata muncul nama beliau. Begitu saya tekan tombol ok, beliau bilang, ”Mabruk akhy, semoga perjalanan haji antum dan istri lancar serta mendapatkan predikat haji mabrur. Saya tidak akan memberikan nasihat panjang lebar tentang teknis manasik haji tapi yang paling penting saya ingatkan substansi ibadah haji yang disampaikan dalam Al Qur’an surat Al Baqoroh ayat 197 yaitu falaa rofatsa walaa fusuuqo walaa jidaala. Selama menunaikan ibadah haji janganlah kita melakukan perbuatan dan mengucapkan perkataan cabul, jangan melakukan perbuatan fasik serta janganlah kita berdebat dalam berbagai persoalan. Cukup antum ingat ketiga hal yang sangat mendasar itu sepanjang perjalanan dan rangkaian haji antum.”
Nasihat itu saya ingat betul dan memang sangat berharga dalam perjalanan haji yang memang secara keseluruhan memakan waktu 40 hari, mulai berangkat dari rumah sampai tiba di rumah kembali. Sebagaimana kita ketahui, ibadah haji merupakan ibadah yang cukup spesial dan perlu banyak pengorbanan. Tidak semua orang Islam mendapatkan kesempatan melaksanakannya dan sebagian besar yang melaksanakannya hanya 1 kali saja. Sehingga secara umum umat Islam belum banyak yang belajar dan mengerti manasik haji, kecuali bagi yang mau melaksanakannya saja. Pada sisi yang lain, salah satu yang sangat membedakan dengan ibadah yang lain adalah ibadah haji hanya bisa dilakukan di suatu tempat tertentu (makkah), pada waktu tertentu (9-13 dzulhijjah) dengan peminat yang dari tahun ke tahun senantiasa bertambah. Jumlah jama’ah haji yang berjuta2 dan terdiri dari berbagai bangsa dengan tingkatan pemahaman yang sangat beragam tentunya mempunyai implikasi yang tidak sederhana dalam pelaksanaan haji.
Ketika saya mengikuti dan belajar manasik haji, baik yang diselenggarakan oleh KBIH, DEPAG maupun yang saya baca dari berbagai buku yang ada, sesungguhnya ibadah haji itu secara teknis sangat mudah. Rangkaiannya adalah kita wuquf tanggal 9 dzulhijjah (berdiam untuk berdo’a) di padang arofah mulai dzuhur sd maghrib, kemudian kita mabit (bermalam) di padang muzdalifah dan keesokan harinya (10 dzulhijjah) kita lempar jumroh aqobah dan mencukur rambut. Selanjutnya kita thawaf ifadhoh dan sa’i serta bermalam di mina selama 2 atau 3 hari yang setiap harinya kita melempar jumroh (ula, wustho, aqobah). Dengan demikian sudah selesailah rangkaian ibadah haji yang kita lakukan. Bahkan bagi mereka yang sakit dan tidak mungkin melaksanakannya sendiri, semua rangkaian tadi bisa diwakilkan pada orang lain kecuali wuquf di arofah. Bagi mereka yang sakit, mereka akan dibawa oleh ambulance ke padang arofah dan berhenti beberapa saat untuk memenuhi rukun haji.
Rangkaian manasik haji diatas akan bisa dilaksanakan dengan mudah dan sederhana kalau seandainya peserta yang melaksanakan ibadah haji itu kurang dari 1.000 orang. Sementara realitanya di tahun 1427 H yang dinyatakan sebagai haji akbar, jumlah jama’ah haji berkisar antara 3-4 juta orang. Jumlah yang sangat banyak pada tempat dan waktu tertentu inilah yang kemudian menimbulkan berbagai permasalahan sosial. Mulai dari transportasi yang macet, antri kamar mandi, makanan yang terbatas, tidur yang tidak nyaman, berdesakan saat melempar jumroh, thawaf dan sa’i dan berbagai dinamika sosial yang lain.
Saat-saat seperti itulah kita merasakan pentingnya nasihat akan substansi ibadah haji dengan adanya larangan untuk berbuat cabul, fasik dan debat sebagaimana yang diingatkan oleh ustadz Muhammad Sholih. Kondisi di lapangan memang membuat kita tidak nyaman dan mudah terpancing untuk melakukan ketiga larangan tersebut, baik kita lakukan secara sadar maupun tidak. Kondisi yang serba kritis tersebut membagi manusia ke dalam 2 golongan secara ekstrim. Bagi yang menyadari hakikat kemanusiaannya yang penuh dengan kelemahan dan keterbatasan maka yang muncul adalah rasa tawadhu’ dan pengakuan akan kebesaran Allah SWT. Namun bagi mereka yang sudah terbiasa dan terlenakan dengan kemapanan yang semu, maka watak egonya semakin terlihat. Muncul sikap dirinya yang selalu merasa lebih baik dari lain, meremehkan orang lain, merasa benar sendiri, tidak bisa melakukan control terhadap nafsu dan syahwat yang berujung pada perbuatan cabul, tindakan kemaksiatan dan fasik serta debat yang berkepanjangan.
Secara fisik, hampir seluruh jama’ah haji memang terlihat telah melaksanakan dengan sempurna baik rukun, wajib dan sunnah dalam rangkaian ibadah haji. Tetapi siapa yang bisa mengontrol dan menjamin apakah kita bisa menjaga syahwat dan nafsu agar tidak melakukan perbuatan/ucapan cabul, tindakan kemaksiatan dan fasik serta debat selama ibadah haji yang memakan waktu berhari-hari. Pada saat kita berdesakan ketika melempar jumroh, thawaf dan sa’i, sering kali harus bertemu dengan perilaku jama’ah yang mengundang emosi. Entah itu dalam bentuk injakan kaki, benturan tubuh, tonjokan / sikutan tangan bahkan lontaran batu kerikil yang salah sasaran, baik secara tidak sengaja maupun yang terlihat seperti disengaja. Demikian juga masa menunggu di mina bisa menimbulkan suasana jenuh yang seringkali memunculkan debat atau pembicaraan yang cenderung mengarah pada hal-hal yang cabul.
Sedemikian beratnya kita menjaga diri dari ketiga larangan tersebut, hingga Allah SWT melalui hadits Rasulullah SAW akan mengganjar jama’ah haji yang mendapatkan predikat haji mabrur dengan balasan yang tiada bandingannya yaitu syurga. Semoga kita semua mendapatkan predikat itu di mata Allah SWT, amin.

0 komentar:

Posting Komentar