Rabu, 25 Januari 2012

Apa Itu Iman dan Islam…

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan :
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : “Apa definisi Iman itu dan apa perbedaannya antara Iman dan Islam .?”

Jawaban :
Islam dalam pengertiannya secara umum adalah menghamba (beribadah) kepada Allah dengan cara menjalankan ibadah-ibadah yang disyari’atkan-Nya sebagaimana yang dibawa oleh para utusan-Nya sejak para rasul itu diutus hingga hari kiamat.
Ini mencakup apa yang dibawa oleh Nuh ‘Alaihis sallam berupa hidayah dan kebenaran, juga yang dibawa oleh Musa ‘Alaihis sallam, yang dibawa oleh Isa ‘Alaihis sallam dan juga mencakup apa yang dibawa oleh Ibrahim ‘Alaihis sallam, Imamul hunafa’ (pimpinan orang-orang yang lurus), sebagaimana diterangkan oleh Allah dalam berbagai ayat-Nya yang menunjukkan bahwa syari’at-syari’at terdahulu seluruhnya adalah Islam kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
Sedangkan Islam dalam pengertiannya secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ajaran yang dibawa oleh beliau. Karena ajaran beliau menasakh (menghapus) seluruh ajaran yang sebelumnya, maka orang yang mengikutinya menjadi seorang muslim dan orang yang menyelisihinya bukan muslim karena ia tidak menyerahkan diri kepada Allah, akan tetapi kepada hawa nafsunya.
Orang-orang Yahudi adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Musa ‘Alaihis salllam, demikian juga orang-orang Nashrani adalah orang-orang muslim pada zamannya Nabi Isa ‘Alaihis sallam. Namun ketika telah diutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian ia mengkufurinya, maka mereka bukan jadi orang muslim lagi.
Oleh karena itu tidak dibenarkan seseorang berkeyakinan bahwa agama yang dipeluk oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani sekarang ini sebagai agama yang benar dan diterima di sisi Allah sebagaimana Dienul Islam.
Bahkan orang yang berkeyakinan seperti itu berarti telah kafir dan keluar dari Dienul Islam, sebab Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Dien yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam”. [Ali-Imran : 19].
“Artinya : Barangsiapa mencari suatu dien selain Islam, maka tidak akan diterima (dien itu) daripadanya”. [Ali-Imran : 85]
Islam yang dimaksudkan adalah Islam yang dianugrahkan oleh Allah kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya. Allah berfirman.
“Artinya : Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepada nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai islam itu jadi agamamu”. [Al-Maidah : 3]
Ini adalah nash yang amat jelas yang menunjukkan bahwa selain umat ini, setelah diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihis sallam, bukan pemeluk Islam. Oleh karena itu, agama yang mereka anut tidak akan diterima oleh Allah dan tidak akan memberi manfaat pada hari kiamat. Kita tidak boleh menilainya sebagai agama yang lurus. Salah besar orang yang menilai Yahudi dan Nashrani sebagai saudara, atau bahwa agama mereka pada hari ini sama pula seperti yang dianut oleh para pendahulu mereka.
Jika kita katakan bahwa Islam berarti menghamba diri kepada Allah Ta’ala dengan menjalankan syari’at-Nya, maka dalam artian ini termasuk pula pasrah atau tunduk kepada-Nya secara zhahir maupun batin. Maka ia mencakup seluruh aspek ; aqidah, amalan maupun perkataan. Namun jika kata Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam berarti amal-amal perbuatan yang zhahir berupa ucapan-ucapan lisan maupun perbuatan anggota badan. Sedangkan Iman adalah amalan batiniah yang berupa aqidah dan amal-amalan hati. Perbedaan istilah ini bisa kita lihat dalam firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Orang-orang Arab Badui itu berkata :’Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka) :’Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”. [Al-Hujurat : 14].
Mengenai kisah Nabi Luth, Allah Ta’ala berfirman.
“Artinya : Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. Dan Kami tidak mendapati di negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang-orang yang berserah diri”. [Adz-Dzariyat : 35-36].
Di sini terlihat perbedaan antara mukmin dan muslim. Rumah yang berada di negeri itu zhahirnya adalah rumah yang Islami, namun ternyata di dalamnya terdapat istri Luth yang menghianatinya dengan kekufurannya. Adapun siapa saja yang keluar dari negeri itu dan selamat, maka mereka itulah kaum beriman yang hakiki, karena keimanan telah benar-benar masuk kedalam hati mereka.
Perbedaan istilah ini juga bisa kita lihat lebih jelas lagi dalam hadits Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Jibril pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihis sallam mengenai Islam dan Iman. Maka beliau menjawab :”Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah”. Mengenai Iman beliau menjawab :”Engkau beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Utusan-utusan-Nya, hari Akhir, serta beriman dengan qadar yang baik dan yang buruk”.
Walhasil, pengertian Islam secara mutlak adalah mencakup seluruh aspek agama termasuk Iman. Namun jika istilah Islam itu disandingkan dengan Iman, maka Islam ditafsirkan dengan amalan-amalan yang zhahir yang berupa perkataan lisan dan perbuatan anggota badan. Sedangkan Iman ditafsirkan dengan amalan-amalan batiniah berupa i’tiqad-i’tiqad dan amalan hati.
[Disalin dari kitab Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, hal 50-52 Pustaka At-Tibyan]
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=270&bagian=0
Advertisement

Islam, Iman dan Ihsan

Di antara cara menipu umat Islam di akhir zaman serta mengelabui umat Islam
pertandingan baca Quran digalakkan
Agar rakyat yang sudah buta amalan menganggap pemimpin memajukan Islam
Padahal pada saat yang sama amalan Islam dalam masyarakat dan negara diabaikan
Untuk makin mengelirukan lagi dibanyakkan bangunan di kampung,
di kota dan di pekan-pekan
Orang ramai menyangka pemimpin telah amalkan Islam
Padahal dalam negara amalan Islam tidak dijadikan sistem tata negara
Maksiat digalakkan atau setidak-tidaknya dibiarkan tanpa dihalang
mengikut undang-undang
Rakyat tidak pandang yang ini tapi pandang yang tadi
yaitu Al Quran digalakkan, masjid dibangun
Rakyat Islam pun memuji-muji pemimpin, menyanjung-nyanjung tinggi
pemimpin cinta Islam
Ditambah lagi diperbanyak sekolah agama, sekolah tahfiz, pelajar dikirim ke luar negeri
menyambung pelajaran Islam
Maka makin tak nampaklah rakyat pada kemungkaran yang pemimpin biarkan
Untuk lebih mengelirukan lagi bahkan satu tipuan yang halus
macam-macam lagi proyek yang diberi nama Islam
Bank Islam, Universitas Islam, Takaful Islam, Dakwah Islam, Kemajuan Islam dan
berbagai macam lagi menggunakan nama Islam
Riuh rendahlah nama Islam dikumandangkan
Bergemalah slogan-slogan Islam dikumandangkan dan diucapkan
Bertambah lagilah kelirunya rakyat pada nama dan slogan
Pemimpin pun membuat pengakuan negara ini adalah negara Islam
Padahal bangunan, nama, slogan adalah kulit Islam bukan isi Islam
Kalau benar-benar ingin menegakkan dan menghayati Islam seperti zaman Islam
Mengapa tidak perjuangkan kasih sayang, mengapa tidak kenalkan Tuhan hingga Dia
ditakuti dan dicintai dalam kehidupan
Mengapa pemurah, menolong orang, mengutamakan orang, bermaaf-maafan tidak
diperjuangkan hingga jadi budaya kehidupan?
Mengapa kemungkaran tidak diberantas habis-habisan
melalui kuasa dan undang-undang?
Kemungkaran adalah racun bagi penghayatan Islam
Kalau orang kaya tamak, bakhil (pelit), sombong, pemimpin banyak berpura-pura
dengan Islam, kata-mengata, tuduh-menuduh, jatuh-menjatuhkan terang-terangan
apalah artinya, banyak masjid apalah artinya, banyak menggunakan nama Islam
Apalah artinya Islam pada nama, pada slogan, kata-mengata masih menjadi amalan
di dalam kehidupan
Apalah artinya pada nama, bangunan, kalau kroni dibiarkan, kalau bukan kroni
ditekan kecuali yang tidak dapat dielakkan
Di mana keadilan? Keadilan penting pada pandangan Tuhan
Keadilan bukan cakap-cakap, bukan propaganda, bukan slogan
tapi adalah sikap dan perbuatan
Kehidupan muda-mudi, bintang-bintang film, penyanyi-penyanyi yang disanjung
adakah mereka menggambarkan kehidupan secara Islam?
Mengapa program yang melalaikan dibuat di waktu sembahyang?
Kalau sudah lalai, sudah tidak sembahyang, apalah artinya bangunan?
Apalah artinya nama, apalah artinya slogan?
Islam adalah aqidah, ibadah dan akhlak
Atau islam, iman dan ihsan
Islam adalah syariat, iman adalah aqidah, ihsan adalah penghayatan
Semuanya ini, sudahkah diperjuangkan dalam semua aspek kehidupan?
Hingga Islam kelihatan cantik, indah, bahagia, tenang, harmoni,
selamat dan menyelamatkan
Hingga orang yang bukan Islam rasa senang dan tenang
berada dalam masyarakat Islam
Semua ini memerlukan jawaban agar tidak mengelirukan
SUMBER; http://kawansejati.ee.itb.ac.id/islam-iman-dan-ihsan

Perbedaan Iman dan Islam

Penulis: Ustadz Muhammad bin Umar As Sewed
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim dengan sanadnya yang bersambung kepada Yahya bin Ya’mur –rahimahullah-, ia berkata: “Sesungguhnya orang pertama yang mengingkari taqdir adalah Ma’bad Al-Juhani di Bashrah. Karena itu ketika aku berangkat haji bersama Humaid ibnu Abdirrahman Al-Himyari dan sampai di Madinah, kami berkata: “Semoga saja kita bisa bertemu dengan beberapa Shahabat.” Dan kamipun bertemu dengan Abdullah bin ‘Umar –radhiyallahu ‘anhumaa- di Masjid, maka kami apit dia antara aku dan shahabatku.
Berkata Yahya bin Ya’mur: “Aku menduga bahwa shahabatku akan meminta aku untuk berbicara, maka aku berbicara: “Wahai Aba Abdirrahman, sesungguhnya di tempat kami ada beberapa orang yang membaca Al-Qur’an, namun mereka mengingkari adanya taqdir dan bahwasanya segala sesuatu terjadi begitu saja”. Ibnu ‘Umar –radhiyallahu ‘anhumaa- berkata: “Jika engkau bertemu mereka khabarkanlah bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dariku. Demi Allah yang ibnu ‘Umar bersumpah dengan-Nya, kalau saja salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud kemudian di infakannya, niscaya Allah tidak akan menerimanya sampai dia beriman kepada taqdir baik dan buruknya.
Kemudian Ibnu ‘Umar berkata: “Telah menyampaikan kepadaku ‘Umar bin Khathab –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata: “Ketika kami sedang duduk di dekat Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian putih bersih, berambut hitam pekat, tidak Nampak sedikitpun padanya tanda-tanda dari perjalanan jauh dan tidak seorangpun di antara kami yang mengenalinya, sampai akhirnya ia duduk menghadap Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-, lalu ia menyandarkan lututnya kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua paha Nabi, seraya berkata: “Ya Muhammad terangkan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Islam adalah engkau bersaksi tiada ilah yang berhaq disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan engkau berhaji ke Baitullah jika engkau mampu untuk menunaikannya.” Ia berkata: “Engkau benar!” Kami merasa heran kepadanya, ia yang bertanya dan ia juga yang membenarkannya.
Kemudian dia berkata lagi: “Khabarkan kepadaku tentang Iman.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “(Iman itu adalah) engkau beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, dan hari akhir, serta engkau beriman kepada taqdir baik dan buruknya.” Ia berkata: “Engkau benar!”
Lalu ia berkata: “Selanjutnya terangkan kepadaku tentang Ihsan!” Rasulullah menjawab: “Yaitu hendaknya engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, jika engkau merasa tidak melihat-Nya, ketahuilah bahwa dia selalu melihatmu”.
Orang itu kembali bertanya: “Beritahukan kepadaku kapan terjadinya hari kiamat?” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya.” Orang tersebut kembali bertanya: “Kalau begitu beritahukan aku tentang tanda-tandanya.” Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab: “Yaitu apabila budak perempuan melahirkan majikannya dan engkau melihat seseorang yang tidak beralas kaki, telanjang, papa dan penggembala saling berlomba-lomba dalam meninggikan bangunannya.”
Kemudian orang tersebut berlalu (pergi). Maka kami terdiam untuk beberapa saat. Lalu Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- berkata: “Dia adalah Jibril. Ia datang untuk mengajari kalian tentang agama kalian.” (HR. Muslim)
Di dalam hadits Jibril –‘alaihi salam- diatas kita melihat bahwa Islam dan Iman adalah dua perkara yang berbeda. Ketika ditanya tentang Islam, Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawab dengan amalan-amalan dhahir (amalan lahiriah). Sedangkan ketika ditanya tentang Iman Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- menjawabnya dengan amalan-amalan bathin (amalan hati) yaitu tentang keyakinan dan kepercayaan.
Walaupun Islam dan Iman hampir tidak bisa dipisahkan, amalan hati dalam bentuk keyakinan pasti akan mempengaruhi amalan-amalan dhahir. Demikian pula sebaliknya, amalan dhahir tidak akan bermakna tanpa disertai dengan niat lurus yang berada dalam hati. Maka amalan-amalan dhahir seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, zakat, belum tentu akan menjadi amalan yang berarti disisi Allah hingga diiringi keyakinan dan keikhlasan di dalam hati.
Allah –Subhanahu wa ta’ala- juga memerintahkan Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- untuk menegur orang-orang Arab Baduy; dan menyatakan bahwa mereka belum beriman, ketika mereka datang dalam keadaan mengira –dengan keislamannya- telah memberikan jasa dan keuntungan kepada Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Allah –Ta’ala- berfirman:
“Orang-orang Arab Baduy itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada mereka): “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: ‘Kalian telah menjadi muslim’, karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian….” (Al Hujuraat:14)
Maka ayat ini pun menunjukkan perbedaan Islam dengan Iman; bahwasanya amalan-amalan dhahir hanya menunjukkan keislaman seseorang, adapun iman akan tumbuh sesuai dengan keyakinan hatinya. Oleh karena itulah orang-orang Arab gunung tadi dinyatakan oleh Allah –Subhanahu wa Ta’ala- yang Maha Mengetahui bahwa keimanan belum masuk pada diri mereka.
Tentunya amalan hati tidak bisa dilihat oleh kita sebagai manusia biasa, namun bisa dilihat dari tanda-tandanya. Tentu akan berbeda seorang yang shalat hanya karena terpaksa dengan tanpa keikhlasan dalam hatinya, seperti shalatnya kaum munafiqin. Allah gambarkan mereka dalam ayat-Nya:
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (An-Nisaa:142)
Demikian pula pada kisah A’rabi (orang-orang Arab gunung) diatas. Ada beberapa tanda bahwa keimanan belum masuk pada hati mereka; Pertama mereka memanggil Nabi –shalallahu ‘alaihi wa sallam- dari luar bilik dengan tidak sopan, maka Allah menghibur Nabi-Nya dengan menyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang bodoh.
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar bilik(mu) kebanyakan mereka adalah orang yang bodoh”. (Al-Hujuraat:4)
Kedua mereka mengira bahwa keislaman mereka menguntungkan dan memberikan jasa kepada Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Padahal sebaliknya justru Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan jasa kepada mereka dan Allah –Ta’ala- yang memberikan hidayah kepada mereka. Allah –Ta’ala- berfirman:
“Mereka merasa telah member ni’mat kepadamu dengan keIslaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah member ni’mat kepadaku dengan keislaman, sebenarnya Allah yang melimpahkan ni’mat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan”. (Al-Hujuraat:17)
Demikian pula para Salafush-Shalih tidak mudah untuk mengucapkan kami beriman atau mereka beriman, cukup mereka menyatakan mereka muslim dan muslimuun. Bahkan ada sebagian pendapat ulama seperti Imam Al-Laalika’i –rahimahullah- yang menyatakan wajibnya memakai kalimat Insya Allah dalam iman seperti kalimat: “ana mu’minuun InsyaAllah” artinya: “Saya seorang beriman InsyaAllah”. (Lihat Ushul I’tiqad Ahlus-Sunnah oleh Imam Al-Laalika’i:5/965)
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (An-Najm:32)
Namun Syaikh Ibnu ‘Utsaimin –rahimahullah- menyatakan dalam masalah Iman dan Islam;
“Kalau disebut bersama maknanya berbeda, kalau disebut terpisah maknanya sama”.
Sehingga kalimat saya mukmin bisa diucapkan dengan maksud saya muslim. Namun tentunya yang lebih selamat kita menyatakan saya muslim dengan berharap dan berdo’a agar Allah menambah dan menyempurnakan keimanan kita. Wallahu a’lam.
Sumber: Risalah Dakwah MANHAJ SALAF 25 Rabii’uts-Tsani 1429H / 02 Mei 2008

Islam Itu Mulia

Judul Buku : Islam Itu mulia
Penulis : Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Penerbit : Pustaka Salafiyah

Harga Rp : 22.000

Discount 10%   : 17.800






Sebuah Agama yang mulia, indah agung, serta penuh hikmah dan rahmat. Namun keistimewaan islam yang demikian hendak dikaburkan oleh sebagian kalangan. Ditambah lagi dengan minimnya semangat dan pemahaman kaum muslimin untuk mendalimi agamanya. Ini semua menambah gencar dan lancarnya upaya pengaburan kemuliaan tersebut.. wallahul musta’an
Dalam buku “islam itu Mulia” ini akan pembaca dapati berbagai kaidah penting dalam memegangi islam, sehingga pembaca bisa memiliki landasan penting dalam menghadapi berbagai kerancuan yang ada tersebut.
Bersegerahlah untuk menelaah buku ini agar keislaman anda bertambah kokoh dan kuat – Insyallah…
 SUMBER;http://www.geraiislami.com/2011/12/09/islam-itu-mulia/

Musdah Mulia : Islam Mengakui Lesbianisme

Aktivis liberal Siti Musdah Mulia mengatakan, lesbian dan homosekstual diakui dalam Islam. Diskusi juga menyalahkan para ulama yang melarang perilaku menyimpang ini
Hidayatullah.Homosek dan homoseksualitas adalah kelaziman dan dibuat oleh Tuhan, dengan begitu diizinkan juga dalam agama Islam, demikian salah satu ucapan Musdah Mulia dalam sebuah diskusi di Jakarta pada hari Kamis, 27 Maret 2008 kemarin.
Homoseks-Homoseks dan homoseksualitas bersifat alami (wajar) yang diciptakan oleh Allah, seperti itu diizinkan dalam Islam, demikian hasil diskusi yang diselenggarakan di Jakarta itu.
Dalam diskusi itu juga disebutkan, sarjana-sarjana Islam moderat mengatakan tidak ada pertimbangan untuk menolak homoseks dalam Islam, dan bahwa pelarangan homoseks dan homoseksualitas hanya merupakan tendensi para ulama.
Selain diskusi menyalahkan para ulama, juga menuduh banyak  Muslim lainnya didasarkan pada penafsiran-penafsiran berfikir sempit dalam pengajaran-pengajaran Islam.
Siti Musdah Mulia  wakil Indonesia  Conference of Religions and Peace mengutip Surat al-Hujurat (49:3) yang mengatakan bahwa salah satu berkah untuk manusia adalah bahwa semua para laki-laki dan perempuan bersifat sama, dengan mengabaikan etnisitas, kekayaan, posisi-posisi sosial atau bahkan orientasi seksual.
“Tidak ada perbedaan antara lesbian dan tidak lesbian. Dalam pandangan Allah, orang-orang dihargai didasarkan pada keimanan mereka,” dia juga mengatakan dalam diskusi yang diorganisir oleh NGO, Arus Pelangi.
“Dan membicarakan tentang keimanan adalah hak istimewa Allah untuk menghakimi,” ujarnya dikuti koran The Jakarta Post.
“Inti sari dari agama (Islam) adalah memanusiakan manusia, rasa hormat dan memuji mereka.”
Musdah juga mengatakan homoseksualitas dari Tuhan dan sebaiknya dianggap sebagai suatu kelaziman, menambahkan tidak didorong hanya oleh nafsu.
Redaktur Majalah Mata Air, Soffa Ihsan juga mengatakan, penghakuan heterogenitas Islam juga sebaiknya memasukkan homoseksualitas.
Dia mengatakan orang Muslim perlu terus melakukan ijtihad  untuk menghindari paradigma lama dengan tanpa mengembangkan interpretasi yang berpandangan terbuka.
Nurofiah dari NU mengatakan yang menyebabkan pelarangan gender akibat kontruk sosial. 
“Seperti prasangka bias jender atau patriarchy, prasangka penyimapangan sosial dibuat. Akan benar-benar berbeda jika kelompok yang menguasai menjadi pelaku homoseksualitas, “ katanya.
Selain Musdah Mulia, permbicara yang ikut hadir adalah Nurofiah dari Nahdlatul Ulama (NU), wakil Hizbut Tahrir Indonesia, dan wakil Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kelompok Arus Pelangi  mengatakan, di beberapa tempat, di Indonesia, perilaku homosek sudah diakui. “Kita mengetahui bahwa di Ponorogo (Jawa Timur)telah ada pengakuan homoseksualitas,” ujar pemimpin Arus Pelangi, Rido Triawan.
Sementara itu, Wakil MUI dan HTI mengutuk perilaku yang termasuk hombreng ini. 
“Ini merupakan suatu dosa. Kita tidak akan mempertimbangkan, menganggap homoseks sebagai musuh, tetapi kita akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka sedang lakukan adalah salah,” ujar Wakil Ketua MUI, Amir Syarifuddin.
Rokhmat, dari HTI, beberapa kali meminta peserta-peserta homoseksual yang hadir dalam acara itu segera untuk menyesali dan secara berangsur-angsur kembali ke jalan yang benar.
Arus Pelangi dibentuk pada tanggal 15 Januari 2006 di Jakarta dengan kantor secretariat di Jalan Tebet Dalam 4 no 3 Jakarta Selatan. Arus Pelangi, sesuai namanya, adalah NGO tempat mangkalnya kaum lesbian dan, gay, bisexual dan transgender (LGBT).
Dalam pasal keanggotan AD/ART Arus Pelangi disebutkan, “Individu yang mempunyai orientasi seksual LGBT dan/atau individu yang mempunyai orientasi heterosexual yang mempunyai komitmen dalam memperjuangkan hak-hak dasar LGBT.” [jp/cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com; 31/03/2008]

Bagaimana Islam memandang Ilmu Pengetahuan


Pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan Islam merupakan agama yang mengagunkan ilmu pengetahuan. Pandangan Islam terhadap Ilmu Pengetahuan sangat signifikan. Hal ini tampak pada syarat keislaman seseorang bahwasanya ia harus menggunakan otaknya untuk berfikir dan menerima wahyu/ ajaran Islam. Ya, Islam sangat memuliakan ilmu pengetahuan bahkan wahyu yang pertamakali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah keharusan membaca yaitu melihat, meneliti huruf dan alam.
Dalam surah al-‘Alaq ayat 1-5 disebutkan:
اقرأ باسم ربك الذى خلق (1) خلق الإنسان من علق (2) اقرأ وربك الأكرام (3) الذى علم باالقلم (4) علم الإنسان ما لم يعلم

Artinya: “bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah (3) yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam [Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca] (4) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya(5)”
Perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan tersebut sangat jelas bahwa Islam sangat menghargai ilmu pengetahuan. Islam sangat melarang taqlidu-l a’ma namun mewajibkan ummatnya untuk al-ittiba’. Taqlidu-l a’ma dan al-ittiba’ memiliki arti yang berbeda. Taqlidu-l a’ma berarti hanya mengikuti orang-orang sebelumnya, mengikuti apa yang dikerjakan orang yang lebih tua tanpa tahu ilmunya dan mengerti dasarnya, sebaliknya al-ittiba’ adalah mengikuti orang-orang terdahulu namun dengan disertai ilmu pengetahuan tentangnya, bukan hanya mengekor tapi tahu apa, mengapa, bagaimana dan untuk apa syariat/ ajaran yang diterimanya.
Meskipun begitu, ada batasan-batasan dalam menggunakan akal dalam hal-hal syariat. Pedoman hidup seorang Muslim beragama Islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, barulah kemudian menggunakan akal dalam menentukan masalah-masalah syariah dan muamalah. Hal ini senada dengan percakapan Nabi Muhammad SAW dan Muadz Ibn Jabal.
Ketika Rasulullah SAW hendak mengirimnya ke Yaman, lebih dulu ditanyainya, “Apa yang menjadi pedomanmu dalam mengadili sesuatu, hai Mu’adz?”
“Kitabullah,” jawab Mu’adz.
“Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?”, tanya Rasulullah pula.
“Saya putuskan dengan Sunnah Rasul.”
“Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?”
“Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya takkan berlaku sia-sia (Melampaui Batas) ,” jawab Muadz.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah. “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhai oleh Rasulullah,” sabda beliau.
Penggunaan akal secara eksplisit disebutkan juga dalam sabda Rasulullah SAW di madinah kepada kaum muslimin yaitu perkataan beliau, “Antum a’lamu biumuuri dunyaakum”. Artinya ‘Kalian lebih mengetahui urusan dunia masing-masing’. Urusan dunia yang dimaksudkan yaitu selain masalah mu’amalah dan syari’ah serta ibadah contohnya adalah masalah bercocok tanam, membangun rumah, mendesain permukiman, menggunakan berbagai alat untuk memudahkan pekerjaan sehari-hari atau kini disebut dengan pemanfaatan teknologi.
Melalui artikel bertajuk Islam dan ilmu pengetahuan yang singkat ini, marilah kita gunakan akal yang merupakan pemberian tertinggi dari Allah kepada Manusia saja. Menggunakan akal dengan berfikir, merenungi ciptaan Allah sehingga kita termasuk orang-orang ulul-Albab sebagaimana firman Allah dalam surah Ali-Imran ayat 190-191
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran 190-191)
SUMBER; http://imtaq.com/pandangan-islam-terhadap-ilmu-pengetahuan/

Mengenal Islam

Lampiran Materi ( 2 )
1.
MENGENAL ISLAM.pdfMENGENAL ISLAM
62.3 KB
Download Materi: MENGENAL ISLAM.pdf
2.
MENGENAL ISLAM.docMENGENAL ISLAM
806.5 KB
Download Materi: MENGENAL ISLAM.doc

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah untuk imam para rasul, nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para shahabatnya .
Islam adalah syari’at Allah terakhir yang diturunkan-Nya kepada penutup para nabi dan rasul-Nya, Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia merupakan satu-satunya agama yang benar. Allah tidak menerima agama dari siapapun selainnya. Dia telah menjadikannya sebagai agama yang mudah, tidak ada kesulitan dan kesusahan di dalamnya. Allah tidak mewajibkan dan tidak pula membebankan kepada para pemeluknya apa-apa yang mereka tidak sanggup melakukannya. Islam adalah agama yang dasarnya tauhid, syi’arnya kejujuran, porosnya keadilan, tiangnya kebenaran, ruhnya kasih sayang. Ia merupakan agama agung yang mengarahkan manusia kepada seluruh hal yang bermanfa’at, serta melarang dari segala hal yang membahayakan bagi agama dan kehidupan mereka di dunia.
Dengannya Allah meluruskan ’aqidah dan akhlak, serta memperbaiki kehidupan dunia dan akhirat. Dengannya pula Allah menyatukan hati yang bercerai-berai, dan hawa nafsu yang berpecah-belah, dengan membebaskannya dari kegelapan kebatilan, dan mengarahkan serta menunjukinya kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Islam adalah agama yang lurus, yang sangat bijaksana dan sempurna dalam segala berita dan hukum-hukumnya. Ia tidak memberitakan kecuali dengan jujur dan benar, dan tidak menghukum kecuali dengan yang baik dan adil, yaitu: ’aqidah yang benar, amalan yang tepat, akhlak yang utama dan etika yang mulia.
Syari’ah Islam bertujuan untuk mewujudkan hal-hal berikut:
1. Memperkenalkan manusia dengan Tuhan dan Pencipta mereka, melalui nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang agung, serta perbuatan-perbuatan-Nya yang sempurna.
2. Menyeru manusia untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya; dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, yang merupakan kemaslahatan bagi mereka di dunia dan akhirat.
3. Mengingatkan mereka akan keadaan dan tempat kembali mereka setelah mati, dan apa yang akan mereka hadapi di dalam kubur, serta ketika dibangkitkan dan dihisab. Kemudian tempat kembali mereka surga atau neraka.
Dan hal-hal yang diseru oleh Islam dapat kita simpulkan dalam penjelasan berikut:
Pertama
Aqidah
Yaitu: Meyakini Rukun-Rukun (Pilar-Pilar) Iman yang enam:
1- Beriman kepada Allah, diwujudkan dengan hal-hal berikut:
a. Satu: Beriman kepada rububiyyah Allah Ta’ala, maksudnya: Allah adalah Tuhan, Pencipta, Pemilik dan Pengatur segala urusan.
b. Beriman kepada uluhiyyah Allah Ta’ala, maksudnya: Allah Ta’ala sajalah Tuhan yang berhak disembah, dan semua sesembahan selain-Nya adalah batil.
c. Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maksudnya: bahwasanya Allah Ta’ala memiliki nama-nama yang mulia, dan sifat-sifat yang sempurna serta agung sesuai dengan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam .
2- Beriman kepada para Malaikat:
Malaikat adalah hamba-hamba yang mulia. Mereka diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, serta tunduk dan patuh menta’ati-Nya. Allah telah membebankan kepada mereka berbagai tugas. Diantara mereka adalah Jibril; ditugaskan menurunkan wahyu dari sisi Allah kepada nabi-nabi dan rasul-rasul yang dikehendaki-Nya.
Mikail yang ditugaskan untuk mengurus hujan dan tumbuh-tumbuhan.
Israfil yang bertugas meniupkan sangsakala di hari terjadinya kiamat.
Dan Malaikat Maut, bertugas mencabut nyawa ketika ajal tiba.
3- Beriman kepada Kitab-kitab:
Allah -Yang Maha Agung dan Mulia- telah menurunkan kepada para rasul-Nya kitab-kitab, mengandung petunjuk dan kebaikan. Yang kita ketahui di antara kitab-kitab itu adalah:
a. Taurat, diturunkan Allah kepada Nabi Musa alaihis salam, ia merupakan kitab Bani Israil yang paling agung.
b. Injil, diturunkan Allah kepada Nabi Isa alaihis salam.
c. Zabur, diturunkan Allah kepada Daud alaihis salam.
d. Shuhuf Nabi Ibrahim dan Nabi Musa ’alaihimas salam.
e. Al Qur’an yang agung, diturunkan Allah Ta’ala kepada nabi-Nya Muhammad, penutup para nabi. Dengannya Allah telah menasakh (menghapus) semua kitab sebelumnya. Dan Allah telah menjamin untuk memelihara dan menjaganya; karena ia akan tetap menjadi hujjah atas semua makhluk, sampai hari kiamat.
4- Beriman kepada para rasul:
Allah telah mengutus para rasul kepada makhluk-Nya. Rasul pertama adalah Nuh dan yang terakhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan semua rasul itu adalah manusia biasa, tidak memiliki sedikitpun sifat-sifat ketuhanan. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang telah dimuliakan dengan kerasulan. Dan Allah telah mengakhiri semua syari’at dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau diutus untuk seluruh manusia. Maka tidak ada lagi nabi sesudahnya.
5- Beriman kepada hari akhirat:
Yaitu hari kiamat, tidak ada hari lagi setelahnya, Ketika Allah membangkitkan manusia dalam keadaan hidup untuk kekal di tempat yang penuh kenikmatan atau di tempat siksaan yang amat pedih.
Beriman kepada Hari Akhir meliputi beriman kepada semua yang akan terjadi setelah mati, yaitu: ujian kubur, kenikmatan dan siksaannya, serta apa yang akan terjadi setelah itu, seperti kebangkitan dan hisab, kemudian surga atau neraka.
6- Beriman kepada Takdir:
Takdir artinya: beriman bahwasanya Allah telah mentaqdirkan semua yang ada dan menciptakan seluruh makhluk sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu, dan menurut kebijaksanaan-Nya. Maka segala sesuatu telah diketahui oleh Allah, serta telah pula tertulis disisi-Nya, dan Dialah yang telah menghendaki dan menciptakannya.
Kedua
Rukun-rukun (Pilar-Pilar) Islam
Islam dibangun di atas lima rukun. Seseorang tidak akan menjadi muslim yang sebenarnya hingga dia mengimani dan melaksanakannya, yaitu:
Rukun pertama: Syahadat (bersaksi) bahwa, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad itu adalah Rasulullah. Syahadat ini merupakan kunci Islam dan pondasi bangunannya.
Makna syahadat la ilaha illallah ialah: tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah saja, Dialah ilah yang hak, sedangkan ilah selainnya adalah batil. Dan ilah itu artinya: sesuatu yang disembah.
Dan makna syahadat: bahwasanya Muhammad itu adalah rasulullah ialah: membenarkan semua apa yang diberitakannya, dan menta’ati semua perintahnya serta menjauhi semua yang dilarang dan dicegahnya.
Rukun kedua: Shalat:
 Yaitu lima shalat setiap hari, Allah syari’atkan sebagai hubungan antara seorang muslim dengan Tuhannya. Di dalamnya dia bermunajat dan berdo’a kepada-Nya, di samping agar menjadi pencegah bagi muslim dari perbuatan keji dan munkar.
Dan Allah telah menyiapkan bagi yang menunaikannya kebaikan dalam agama dan kemantapan iman serta ganjaran, baik cepat maupun lambat. Maka dengan demikian seorang hamba akan mendapatkan ketenangan jiwa dan kenyamanan raga yang akan membuatnya bahagia di dunia dan akhirat.
Rukun ketiga: Zakat
Yaitu: sedekah yang dibayar oleh orang yang memiliki harta sampai nisab (kadar tertentu) setiap tahun, kepada yang berhak menerimanya seperti orang-orang fakir dan lainnya, di antara yang berhak menerima zakat.
Dan zakat itu tidak diwajibkan atas orang fakir yang tidak memiliki nisab, tapi hanya diwajibkan atas orang-orang kaya untuk menyempurnakan agama dan islam mereka, meningkatkan kondisi dan akhlak mereka, menolak segala bala dari mereka dan harta mereka, mensucikan mereka dari dosa, di samping sebagai bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan dan fakir di antara mereka, serta untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka, sementara zakat hanyalah merupakan bagian kecil sekali dari jumlah harta dan rizki yang diberikan Allah kepada mereka.
Rukun keempat: Puasa
Yaitu selama satu bulan saja setiap tahun, pada bulan Ramadhan yang mulia, yakni bulan kesembilan dari bulan-bulan Hijriah. Kaum muslimin secara keseluruhan serempak meninggalkan kebutuhan-kebutuhan pokok mereka; makan, minum dan jima’, di siang hari; mulai dari terbit fajar sampai matahari terbenam.
Dan semua itu akan diganti oleh Allah bagi mereka -berkat karunia dan kemurahannya- dengan penyempurnaan agama dan iman mereka, serta peningkatan kesempurnaan diri, dan banyak lagi ganjaran dan kebaikan lainnya; baik, di dunia maupun di akhirat yang telah dijanjikan Allah bagi orang-orang yang berpuasa.
Rukun kelima: Haji
Yaitu menuju Masjidil haram untuk melakukan ibadah tertentu. Allah mewajibkannya atas orang yang mampu sekali seumur hidup. Pada waktu itu kaum muslimin dari segala penjuru berkumpul di tempat yang paling mulia di muka bumi ini, menyembah Tuhan Yang Satu, memakai pakaian yang sama, tidak ada perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, antara si kaya dan si fakir dan antara yang berkulit putih dan berkulit hitam. Mereka semua melaksanakan bentuk-bentuk ibadah tertentu, yang terpenting di antaranya adalah: Wukuf di padang Arafah, thawaf di Ka’bah yang mulia, kiblatnya kaum muslimin, dan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah.
Dan di dalam pelaksanan haji itu terdapat manfaat-manfaat yang tidak terhingga banyaknya, baik dari segi agama maupun dunia.
Ketiga
Selanjutnya, Islam juga telah mengatur kehidupan pemeluknya secara individu dan kelompok, dengan konsep yang menjamin kebahagiaan hidup mereka dunia dan akhirat. Islam membolehkan bahkan mendorong mereka untuk nikah, dan sebaliknya mengharamkan atau melarang perbuatan zina, sodomi dan segala bentuk prilaku kotor lainnya. Ia mewajibkan menjalin hubungan antar kerabat, mengasihi orang-orang fakir dan miskin serta menyantuni mereka, sebagaimana Islam juga mewajibkan dan mendorong untuk berakhlak mulia, serta mengharamkan dan melarang segala bentuk moral yang hina.
Islam membolehkan bagi mereka usaha yang baik melalui perdagangan, persewaan dan semacamnya, serta mengharamkan praktek riba, segala bentuk perdagangan yang terlarang dan semua yang mengandung unsur penipuan atau pengelabuan.
Sebagaimana Islam juga memperhatikan perbedaan manusia dalam konsisten terhadap ajarannya dan memelihara hak-hak orang lain, untuk itu ditetapkan sanksi-sanksi yang mencegah untuk terjadinya berbagai pelanggaran terhadap hak-hak Allah seperti: murtad, berzina, meminum khamar dan semacamnya, begitu juga ditetapkan sanksi-sanksi yang mencegah akan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak sesama manusia, seperti membunuh, mencuri, menuduh orang lain berbuat zina, atau menganiaya dengan memukul atau menyakiti. Sanksi-sanksi tersebut sangat sesuai dengan bentuk kejahatannya tanpa berlebih-lebihan.
Sebagaimana Islam juga telah mengatur dan memberi batasan terhadap hubungan antara rakyat dan penguasa, dengan mewajibkan rakyat untuk ta’at selama bukan dalam maksiat kepada Allah, dan mengharamkan kepada mereka memberontak atau menentang, karena bisa menimbulkan kerusakan-kerusakan secara umum atau khusus.
Sebagai penutup, dapat kita katakan bahwa Islam telah merangkum ajaran yang membangun dan menciptakan hubungan yang benar dan amalan yang tepat antara hamba dan Tuhannya dan antara seseorang dengan masyarakatnya dalam segala urusan. Maka tak satupun kebaikan, baik itu dari segi akhlak maupun mu’amalat, melainkan Islam telah membimbing dan mendorong ummat untuk melaksanakannya, dan sebaliknya tak satupun keburukan dalam hal akhlak ataupun mu’amalat melainkan Islam telah mencegah dan melarang ummat untuk melakukannya. Ini semua membuktikan kesempurnaan dan keindahan agama ini, dalam seluruh sisi dan bagiannya.
SUMBER;http://www.islamhouse.com/p/76558